FTMM NEWS – Wacana optimalisasi pemanfaatan Energi Baru dan Terbarukan oleh pemerintah Indonesia semakin menguat setiap harinya. Hal ini, di dukung dengan mulai munculnya pembangunan beberapa fasilitas penelitian dan pengembangan EBT. Merespons hal ini, perguruan tinggi negeri maupun swasta di Indonesia turut serta mengembangkan fasilitas penelitian EBT sebagai laboratorium terbuka.
Menanggapi wacana yang semakin menguat, Fakultas Teknologi Maju dan Multidisiplin dalam gelaran webinar bertajuk ‘Current and Upcoming Innovation on Photovoltaic Power System’Current and Upcoming Innovation on Photovoltaic Power System’. Pada Sabtu (20/11/2021) menghadirkan expertise pada bidang EBT sekaligus pelopor mobil listrik Indonesia. Dia adalah Ricky Elson yang dikenal telah berhasil membangun mobil listrik asli Indonesia yang bernama Selo.
Ricky adalah sosok jenius yang sangat menginspirasi kaum muda, utamanya mahasiswa engineering yang tertarik pada EBT dan mobil listrik. Pencapaiannya ketika berkerja di Jepang sangatlah membanggakan, sekitar 14 paten perihal mesin mobil listrik telah dia catatkan selama di Jepang.
“Kebijakan pengembangan teknologi EBT di Indonesia harus menjadi prioritas. Selama ini, kita masih menjadi pengguna saja, teknologi yang kita pakai adalah teknologi luar negeri. Kita membelinya, bukan membuat,” jelas Ricky.
EBT, sambung Ricky, adalah ladang emas Indonesia. Penelitian dan pengembangannya harus massif, kita harus mencetak insinyur-inssinyur muda dari jiwa mahasiswa teknik. Pemuda adalah aset sekaligus masa depan bangsa, maka kita harus membina dan memberikan mereka kesempatan. Selain itu, dengan menerapkan EBT, maka akan mengurangi ketergantungan pada minyak bumi yang cadangannya semakin menipis.


Mengembangkan Pusat Riset yang Siap Menerima Mahasiswa untuk Belajar
Saat ini bertempat di Ciheras, Jawa Barat, Ricky telah mendirikan Lentera Bumi Nusantara sebagai pusat risetnya. Di Ciheras, dia mengembangkan teknologi EBT dan mobil listrik. Jenis EBT yang dikembangkan Ricky adalah Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB, yang mana hal tersebut memanfaatkan angin sebagai penggerak turbin. Tempat dan pusat riset yang dibangunnya ini memperoleh respons baik dari berbagai pihak, terlebih dia dengan terbuka memberikan kesempatan mahasiswa untuk turut belajar.
“Kita kaya potensi EBT, namun tidak punya teknologinya. Harganya juga relatif mahal, itu membuat kita belum optimal dalam memanfaatkannya. Ini adalah potensi besar, masih banyak daerah terpencil yang belum teraliri listrik. Maka penerapan EBT adalah hal potensial yang bisa dimanfaatkan,” tandasnya.
Menurut Ricky, sosial media dan games itu menarik, karena mudah di akses. Namun, jangan sampai ketika bangun tidur itu menjadi kebiasaan yang mereka akses. Melainkan mereka harusnya mengakses berita-berita ataupun forum diskusi perihal riset EBT di berbagai negara maupun instansi. Hal itu akan menimbulkan kepedulian dan semangat untuk turut mengembangkan teknologi EBT.
Jika riset dan pengembangan EBT masif, maka pasti teknologinya akan lebih murah. Terlebih, jika kita bisa membuatnya sendiri, tentu ini juga akan berpengaruh pada kegiatan ekonomi nasional. Saat ini, pengembangan EBT masih dominan pada PhotoVoltaic (PV) dan Bayu (Angin, Red), negara besar seperti China dan Amerika juga memacu pengoptimalan EBT. Negara-negara tersebutlah yang juga menjadi pemicu riset EBT.
“Kedepannya, menyiapkan engineer EBT adalah kebutuhan dunia. Secara global pada tahun 2018, EBT berhasil menyerap 18 juta tenaga kerja baru. Saat ini India berpacu mencapai 2 Gigawatt, China menarget 5,25 Gigawatt, dan Indonesia di Cirata merencanakan 150Megawatt, semuanya dari EBT,” jelasnya.
Inovasi adalah Tantangan
Bagi Ricky, innovation is to challenge maka fasilitas pengembangan EBT harus disentuh anak muda. Jangan biarkan fasilitas hanya mangkrak di lab dan berakhir di jurnal untuk di tumpuk. Maka, berikan mereka kesempatan untuk turut mengembangkan teknologi EBT agar menjadi engineer dunia.
“Kita harus menantang keterbatasan, berbekal tekad yang kuat kita pasti bisa. Saya menunggu teman-teman di Ciheras untuk berkolaborasi bersama. Kita telah mengembangkan generator terkecil, dan itu melalui sentuhan tangan mahasiswa,” ungkapnya.
Penyiapan SDM yang mampu menuntaskan persoalan energi, utamanya EBT harus sebaik mungkin. Ricky berharap mahasiswa dan peneliti dari UNAIR suatu saat dapat mampir ke Ciheras, dan bersama-sama belajar serta berkontribusi dalam membangun kemajuan EBT di Indonesia.
“Kita dampingi dan dukung anak muda untuk turut berkolaborasi dan berinovasi. Mereka adalah aset yang krusial untuk negara ini,” pungkasnya.(*)(wil)